Senin, 12 Juni 2017

SERI CERITA RAKYAT WONOGIRI: Legenda Umbul Nogo Cerita Rakyat Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri (Bagian I)

umbul nogo
Sumber Air Umbul Nogo Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri


Di kabupaten Wonogiri banyak sekali legenda yang berkaitan suatu tempat atau petilasan yang memiliki kisah sejarah atau hanya sekedar mitos. Cerita tentang legenda ini dapat dijumpai fakta tempat yang mendukung kisah-kisahnya.

Berikut adalah satu legenda Umbul Naga sebuah cerita rakyat dari kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri. Legenda Umbul Naga dipercayai memiliki kaitan sejarah tentang kerajaan Mataram Kuno. 

Lokasi Umbul Naga berada di Desa Karanglor Kecamatan Manyaran. Tempat ini merupakan sumber air dengan debit besar terdiri dari 1 kolam air utama dan 2 buah kolam air dibawahnya. Sumber air ini masih dimanfaatkan warga setempat memenuhi kebutuhan air bersih.

Legenda Umbul Naga berawal kisah hidup seorang sakti bernama Begawan Sidik Wacana. Begawan Sidik Wacana memiliki anak laki-laki bernama Joko Lelono. Setelah beranjak dewasa, Begawan Sidik Wacana meminta anaknya Joko lelono untuk segera mencari seorang wanita untuk dijadikan istri.


“Anakku Joko Lelono, kamu sudah saatnya mencari seorang pedamping hidup. Agar hidupmu lengkap dan ada yang mengurus segala kebutuhanmu” pinta Begawan Sidik Wacana. “Ayahanda, memang benar adanya, saya ingin sekali segera memiliki seorang pedamping” jawab Joko Lelono.

Kemudian Begawan Sidik Wacana bertanya lagi tentang gambaran seorang wanita yang ingin dijadikan pedamping. “Aku menginginkan seorang wanita cantik, lemah lembut, setia dan baik hati sama seperti ibunda”  Joko Lelono menjelaskan.


“Apa! Anakku apakah kamu menginginkan Ibundamu untuk menjadi istrimu?” teriak Begawan Sidik Wacana ternyata salah paham apa yang diucapkan Joko Lelono. “Bukan begitu ayahanda, bukan maksud saya seperti yang ayahanda tuduhkan” bela Joko Lelono.

“Oooh anakkku, apa kamu buta ingin memperistri ibundamu?” tegas Begawan Sidik Wacana sekali lagi. Joko Lelono terdiam dan menunduk. Matanya terpejam erat dan meneteskan air mata, menyesal ia mengeluarkan kata yang menyakiti hati Sang ayahanda.


Setelah hening sesaat, Joko Lelono mencoba membuka matanya. Alangkah kaget dan bingung karena setelah membuka mata yang terlihat hanya gelap gulita. Kemudian ia mengusap matanya sekali lagi, dan justru semakin gelap. Karena melihat anaknya panik dengan terus mengusap mata, Begawan Sidik Wacana segera menghampiri anaknya. “Apa yang terjadi anakku” tanya Begawan. “Ampun ayahanda, apa yang menjadi kata ayahanda tentang mata saya yang buta menjadi kenyataan.” Jawab Joko Lelono.


Seketika itu, perasaan Begawan Sidik Wacana sangat sedih. Akibat mengeluarkan kata-kata yang akhirnya menjadi kutukan bagi anaknya.

“Anakku, kejadian sudah terlanjur. Kutukan ini akan kau jalani. Untuk menyembuhkan matamu yang buta, kau harus menjalani ‘laku tirakat’. Pergilah ke pertapaan di Dlepih Kahyangan Tirtomoyo, temuilah seorang pertapa Begawan Sidik Wasesa. Lakukan apapun perintahnya.” kata Begawan Sidik Wacana.

“Kamu akan ditemani 2 abdi dalem Ki Merkak dan Ki Jebres yang akan membantu kamu selama perjalanan.” terang Begawan.


Dengan mengendarai seekor gajah dan membawa sebuah payung, berangkatlah Joko Lelono dan kedua abdi dalem pergi ke Pertapaan Dlepih Kahyangan Tirtomoyo. Selama beberapa waktu melakukan perjalanan akhirnya sampai juga ke tempat tujuan.

Dengan hati senang, Joko Lelono mengetuk pintu Padepokan. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya keluar juga sang pemilik Padepokan Begawan Sidik Waseso. Setelah bertemu, Joko Lelono menceritakan kisah nya dan tujuannya menemui sang Begawan.

Dengan senyum dan keramahannya, Begawan Sidik Waseso beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Joko Lelono. Ia menempelkan kedua tangannya di kelopak mata Joko Lelono. Mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra. Sejurus kemudian, diusapkan berkali-kali tangan ke kelopak mata yang buta.


“Ananda sekarang berdoalah kepada Sang Pemilik Alam Jagad Raya, mohon ampunan dosa yang telah diperbuat, serta doakan dan mohon ampun kepada sang ayahanda agar penglihatanmu dibuka kembali.”perintah Begawan Sidik Waseso.

Sungguh ajaib, setelah proses pengobatan selesai, dibukalah kedua kelopak mata Joko Lelono. Perlahan-lahan ia mampu melihat seberkas cahaya, semakin lama semakin terang. “Terima kasih duh Gusti, hamba sudah mampu melihat kembali” ucap haru Joko Lelono.

Segera ia bersimpuh dihadapan Begawan Sidik Waseso, karena atas pertolongan darinya ia bisa melihat kembali. “Saya mengaturkan beribu terima kasih Sang Begawan. Sungguh merupakan berkah hamba dapat lepas dari kutukan ayahanda.” ungkap Joko Lelono.


“Sama-sama kisanak, sudah menjadi kewajiban kita harus tolong – menolong. Sekarang apa rencana kisanak selanjutnya.” Jawab Sang Begawan.

Setelah sekian waktu, akhirnya Joko Lelono berpamitan kepada Begawan Sidik Waseso. Ia hendak melanjutkan perjalanan. Dengan ditemani kedua abdi dalemnya, Joko Lelono melanjutkan perjalanan.


Dengan mengendarai gajah dan membawa sebuah payung, akhirnya Joko Lelono sampai di sebuah tempat. Tempat ini berupa bukit kecil mirip sebuah gunung yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya. Kepada kedua abdi dalemnya, ia memerintahkan untuk berhenti dan beristirahat.

Setelah itu, Joko Lelono bersemadi sambil memulihkan tenaganya. Terjaga dari semadi, Joko Lelono memanggil kedua abdi Ki Merkak dan Ki Jebres. “Paman berdua, saya telah bersemadi dan mendapat petunjuk untuk melanjutkan perjalanan. Saya tidak akan kembali ke Mataram. Saya akan terus melanjutkan perjalanan untuk menemukan calon pedamping hidup sesuai titah ayahanda.” Kata Joko Lelono.

“Baiklah tuanku. Kami akan terus setia mengikuti kemanapun tuanku pergi” jawab kedua abdi dalemnya.

“Untuk mengingat kejadian ini, tempat kita beristirahat saya beri nama Gunungan.” Joko Lelono berujar dengan lantang. Setelah berujar, ia memerintahkan kedua pembantunya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.


Sekian waktu beristirahat, Joko Lelono berniat melanjutkan perjalanan. Ia hendak memanggil kedua abdi dalem, akan tetapi dilihatnya kedua orang itu masih tertidur dengan pulas.Tidak ingin menggangu istirahat mereka, Joko Lelono melanjutkan perjalanan dengan mengendarai gajah hingga akhirnya pada sebuah tempat.

Ki Merkak dan Ki Jebres tak lama pun terbangun dan beranjak menyusul tuannya yang telah pergi. Dengan mengikuti jejak kaki gajah akhirnya segera menyusul Joko Lelono.

Mereka melihat Joko Lelono tampak bingung dan akhirnya memutuskan turun dari punggung (geger) gajah.


Dengan segera dihampiri tuannya. “Kenapa Tuanku turun dari punggung gajah?” tanya kedua pembantu setia itu. “Paman, saya bingung hendak kemana saya hendak melanjutkan perjalanan.” Keluh Joko Lelono.

“Sabar Tuanku. Sebaiknya kita beristirahat barang sebentar.” Saran Ki Merkak. “Baiklah. Kita beristirahat. Untuk mengenang kejadian ini, saya namakan tempat ini Nggeger (punggung)” ujar Joko Lelono.


Sambil beristirahat, Joko Lelono teringat payung yang selalu ia bawa. “Paman, dimana payung yang selalu kita bawa?” tanya Joko Lelono. “Ampun Tuanku, hamba lupa membawa. Payung itu tertinggal dalam perjalanan.” Jawab Ki Jebres.

“Tolong paman, itu adalah pemberian ayahanda, segera ambil kembali.” Perintah Joko Lelono. “Baiklah. Segera kita ambil payung untuk Tuanku” jawab Ki Merkak. Pergilah kedua abdi ini mencari dimana payung tertinggal. Sekian lama melakukan pencarian, akhirnya sampi juga pada tempat dimana payung tertinggal. Alangkah terkejutnya melihat payung yang dicari telah menjadi sebuah batu. “Astaga, payung telah menjadi batu.” Teriak Ki Jebres. 

Kedua abdi terkejut dan duduk disamping batu jelmaan payung milik Joko Lelono. Untuk mengingat kejadian ini, mereka sepakat menamai tempat ini dengan nama Watu Payung. (Bersambung ke Bagian II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar